Kamis, 21 November 2013

Pengaruh Luar terhadap Kaligrafi Islam

             Kaligrafi Islam konterporer yang saat ini sering digabungkan dengan seni rupa konterporer telah menjadi fenomena internasional. Sebagaimana seni rupa umumnya, ia pun berkembang bersama gelombang perubahan yang lebih luas bahkan acapkali melabrak batas-batas “ grammar” yang sebelumnya disucikan.
Terseretnya khat arab ke dalam arus perubahan yang dramatis ini dikarenakan alphabetnya sangat toleran dijadikan ( dan selalu mencangkup) “ ekspresi segala sesuatu”. Sememntara itu, sejarah kaligrafi itu sendiri sebenarnya adalah sejarah penemuan dan pemburuan gaya-gaya.
Oleh Habibullah Fada’ili disebutkan bahwa setiap gaya kaligrafi tunduk sepenuhnya terhadap exsperimen dan modifikasi selama bertahun – tahun bahkan berkurun-kurun, sampai terbentunya pola yang benar- benar sempurna. Terutama semenjak tahun 70-an pengaruh pemikiran orientasi Barat terasa sangat dominan, sehingga memberikan gaya baru pada sosok kaligrafi Islam konterporer, bahkan menurut Samir Al- Sayegh, sampai detik ini pun kecendrungan lebih berkiblat ke Barat di kalangan Kaligrafi di kawasan Arab dan wilayah Islam lainya  sangat mencolok melebihi perhatian mereka terhadap gaya seni timur lampau. Akibatnya, karekter asli karapkali menghilang.     
Kaligrafi ekspresionis, seperti jenis – jenis gaya baru yang lain. nyata-nyata berkaitan dengan gerakan estetika barat. Ia adalah kesan dari “pembudayaan” seni Islam artinya oleh seni Barat akhir akhir ini. Gaya ekpresionis dalam kaligrafi Islam kontemporer, seperti dalam seni rupa kontemporer, sering tidak mengembangkan keadaan yang sebenarnya. Karena karya –karya para kaligrafer muslim kontemporer lebih mencerminkan tradisi seni Barat. Kaligrafer macam ini menurut Al-Faruqi sedikit sekali artinya dalam upaya kebangkitan seni kaligrafi Islam.
Kaligrafi simbolik yang didominasi oleh gagasan dan ekspresi seni Barat juga merupakan “ penyelewengan” serius dari tradisi estetik Islam yang bersifat transenden. Dalam Kaligrafi ini, sekali lagi unsure-unsur kebaratan mempengaruhi orientasi kesenian dan prosesnya. Hal seperti ini tidak seharusnya mengagetkan, karena pilihan gaya pada kecendrungan seni rupa kontemporer bernafaskan islam tidak terbatas pada gaya kaligrafi dan abstrak formalism, melainkan juga mencangkup gaya ekspresif, simbolis, dan instrumental ( realism maupun suryalisme). Oleh karena itu kehadiran gaya semacam ini merupakan suatu keniscayaan dan tidak mungkin dibendung.
Yang sangat senter adalah pengaruh “ kebebasan penuh” ala barat yang menonjol dalam pengarapan model kaligrafi “abstrak” ; istilah yang menunjukkan kekaburan. Piet Mondria adalah pelukis dan penyumbang terpenting dalam garapan ini. Kehadiran gaya abstrak dalam kaligrafi Islam kontemporer, walaupun bertentangan dengan unsure-unsur kreatifitas seni yang diamalkan para kaligrafer muslimberabad-abad lamanya, kini semakin tren di pelukis dan kaligrafer muslim kontemporer, terutama yang banyak hubungan dengan Barat, baik melalui pendidikan maupun kegiatan pameran.
Nama –nam pelukis kaligrafi abstrak kontemporer yang sehaluan dengan Zenderoudi seperti M. Omar, M. Benbella, N. Mahndoui, E. Adnan dan Mehdi Qotbi (kelahiran Barat), semuanya hidup di Paris. Kamal Boulatta bekerja di Washinton Dc. Ali Omar Ermes dari Libya belajar di London. Pergaulan dengan para pelukis  Barat dab pelukis-pelukis Islam lainya memberikan pengaruh kuat terhadap gaya dan oreantasi dalam karya – karya lukis kaligrafi mereka.
Bekal pengalaman hidup dan bergaul dengan seni lukis kontemporer barat itu lebih mendapat pengukuhan via pameran – pameran yang biasanya menampilkan hasil karya kebudayaan Arab tradisional yang dipajang berdampingan dengan komposisi-komposisi abstrak dan surialistik,
Misalnya pameran bersama para seniwati arab Saudi di Washington dan Faifax, Virginia, 1988. Memancing banyak perhatian pemerhati seni lukis modern. Pameran ini menyambung sambutan atas pameran 64 pelukis Pakistan di London center for Pakistan studies, 1987, yang luar biasa antusias. Pameran – pameran semacam itu di  langsungkan lebih sering, terutama dikawasan – kawasan petrodollar Timur Tengah, seperti Arab Saudi atau Abu dhabi, pada 6 April s / d 7 Mei 1997, kaligrafer kontemporer Kuwait Fareed Abdurraheem Al-Ali memamerkan “ Formation of the revered word Allah “ di house of Zainab Khatun Al-Azhar Kairo, yang juga “mencekam” perhatian penonton karena gaya-gaya “ pemberontakan” yang ditampilkan , Fareed kembali mengelar karyanya di Al- Qa’ah Al-Kubra, Abu Dhabi, 1-8 Oktober 1998, atas prakarsa Muassasah Al-Saqafah wa Al-Funun yang disambut meriah.
Tambah maraknya kecendrungan berkaligrafi sampai tahun 90-an, mendorong dan didorong kreatifitas menggebu para pelukis kaligrafi Islam kontemporer yang mencerminkan kecenderungan rata-rata sikap batin dan fikiran mereka. Contoh paling mencolok adalah kaligrafer kontemporer Tunisia Naja Al-Mahdawi yang saban hari beruji coba huruf lebih dari 13 jam secara tekun. Di antara ungkapan-ungkapanyan yang paling “berani” adalah sebagai berikut :
(( الحرف عندى مادة حية , أصوغ منها ما أشاء , كما أساء ))
(“ huruf bagi saya adalah materi hidup yang darinya saya olah saja sekehendak saya”)



(“dalam teknik mengolah seni saya, saya kembali ke warisan secara alamiah, namun saya mesti keluar darinya. Kalau tidak, saya akan mati disana”)

Sikap Naja Al-Mahwadi mencerminkan pandangan perlunya penggembangan huruf-huruf supaya tidak statis, karena huruf itu sendiri menawarkan kelenturan luar biasa. Sudah pasti sikap revolusionernya yang oleh Charbal Dagir disebut “permainan gila” (al-la’bah al-majnunah) itu tidak lepas dari pergaulan kesehariannya dengan model-model kreaksi lukis gaya kontemporer Eropa. Tata pergaulan semacam ini oleh kaligrafer muslim kontemporer Hassan Massoud yang punya pergaulan erat dengan kehidupan seni rupa Barat di Perancis, dianggap sangat menentukan. Ia bahkan menyebut “tata cara melindungkan kaligrafi supaya terpelihara”. Yaitu dengan, “menempatkan sanag kaligrafer di tengah masyarakat”. Tidak dapet disangkal, jika masyarakat sepergaulannya adalah para perupa Barat. Maka yang akan lahir darinya adalah kreaksi yang bermazhab atau dipengaruhi mazhab Barat.
Lukisan Kaligrafi Islami di Indonesia

“lukisan kaligrafi” atau “kaligrafi lukisan” mulai populer di Indonesia terutama sejak pameran pertama pada MTQ Nasional XI tahun 1979 di Semarang. Pameran yang paling besar lagi diselenggarakan tahun 1980 bersama dengan Muktamar Media Masa Islam Sedunia 1 di Balai Sidang Senayan, Jakarta. Semenjak itu, pameran-pameran semacam diselengarakan secara rutin di kota- kota besar Jakarta, bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan pada berbagai event penting kota-kota lain di Indonesia. Buah dari pergelaran-pergelaran yang melibatkan para perupa ini telah memposisikan secara mantap seni lukis kaligrafi Islam dalm konstelasi sini rupa di Indonesia.
Istilah “lukisan kaligrafi“ biasanya digunakan untuk membedakan dari “kaligrafi murni” atau “kaligrafi klasik” yng berpegang pada kaeadah khattiyah seperti Naskhi, Sulus, Farisi, Diwani, Kufi, dan Riq’ah. Lukisan kaligrafi acap dihubungkan dengan rupa-rupa teknik pengarapan karya secara keseluruhan, seperti teknik batik, teknik grafsi, teknik ukir kayu, teknik logam dan lain-lain dalam media dan peralatan (seperti cat minyak atau akrilik) yang beragam pula. Hasil garapan yang  memadukan huruf dengan latar belakangnya membentuk sebuah “lukisan yang utuh”, tidak hanya lukisan terpisah.











Oleh karena itu, pengertian “lukisan” kaligrafi Islam di Indonesia tidak selalu menunjukan kepada pembagian gaya-gaya kaligrafi ( kontemporer maupun klasik baku) dalm arti huruf seperti dalam kriterium Al-Faruqi. Fokos “tulisan kaligrafi” di Indonesia “tidak hanya selasai pada huruf”, tetapi kehadirannya memang sebagai “lukisan” dalam arti yang sesungguhnya, seperti yang dimukakan pelukisa kaligrafi Islami Syaiful Adnan. Kritikus seni rupa dan Suwaryono menandaskan bahwa lukisan kaligrafi islami pada dasarnya ditopang dua unsure elemen seni rupa, berupa unsur-unsur fisiko plastis (berupa bentuk, garis, warna, ruang, cahaya, dan volume) di satu pihak, dan tidak di pihak lain tuntutan-berupa tuntutan yang cendrung pada ke arah ideo plastis (meliputi semua masalah yang seraca langsung ataupun tak langsung berhubungan dengan isi atau citra perbahasaan bentuk). Dalam ungkapan yang lebih mudah, “lukisan: kaligrafi Islami di Indonesia tidak hanya menampilkan sosok huruf yang dilukis, tetapi juga sebuah lukisan utuh yang menjadikan huruf salah satu elemennya.
Maka, lukisan kaligrafi Islam kontemporer di Indonesia sangat kaya variasi, karena integral dengan rupa-rupa huruf tnapa memandang gaya alirannya. Baik gaya-gaya kontemporer maupun gaya klasik baku , semuanya dapat menjadikan objek garapan.
Peloporan mazhab ini adalah Ahmad Sadali dan A.D. Pirous (Bandung) diikuti oleh Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya). Kehadiran meraka memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kelahiran dan popularitas kaligrafi Islam kontemporer di Indonesia. Terutama Ahmad Sadali dan A.D. pirous tersebut pertama adalah termasuk kelahiran Mazhab Bandung yang sering disebut-sebut “labotarium Barat”. Keduanay selain actif mengajar di Fakultas Seni Rupa ITB dan di kenal akrab dengan pergaulan seni rupa Barat, juga sangat sering berpameran di luar negri.
 Ajaran-ajaran mereka sangat cepat menyabar dan diikuti para pelukis di kampus-kampus seni rupa. Di antara “generasi kedua” sesudah mereka, antara lain, Syaiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra buana, Abay D.subarna, Yetmon Amier, dan kawan-kawan mereka seperti Firdaus Alamhudi, Agoes Noegroho, Agus Kamil, Said Akram, Abdul Aziz Ahmad, dan lain-laindengan aneka teknik dan gaya nya masing-masing.

Selanjutnya, bukan hanya para alumnus perguruan seni rupa, bahkan para pelukis dan khattat yang tidak memiliki disiplin pendidikan seni rupa pun banyak yang terjun ke permaian seni lukis gaya kaligrafi gaya baru ini.            

0 komentar:

Posting Komentar

Kontributor

Diberdayakan oleh Blogger.