Dalam
buku-buku teks kuliah, dalam bincang-bincang dan diskusi, dan pertemuan apa
saja yang menyinggung soal kritik seni rupa, selalu ditekankan tugas pokok
seorang kritikus adalah menjembatani antara perupa dan masyarakat. Perupa yang
untuk sementara dianggap gagap bicara dan menulis, kemudian masyarakat yang
sulit memahami karyanya, perlu dipertemukan, agar terjadi perluasan medan
apresiasi. Tetapi benarkah kenyataannya demikian?
Siapa itu Kritikus ?
Dalam bukunya
Diksi Rupa (Kumpulan Istilah Seni Rupa), Mikke Susanto menulis bahwa Kritikus
Seni Rupa adalah seorang ahli kritik seni, yang mempertimbangkan karya dan
wacana seni rupa, kemudian merumuskannya secara profesional. Jika pengertian
ini diterima maka seorang kritikus bukanlah sembarang orang. Menurut Sudarmaji
dalam bukunya Dasar-dasar Kritik Seni Rupa, paling tidak ia harus memiliki
kecintaan dan kepekaan terhadap seni, menyelami hakikat dan seluk beluk seni
(mulai dari sejarah, perihal karya, sampai dasar-dasar dan metode kritik seni
rupa).
Artinya tidak mudah memberi julukan kritikus pada seseorang. Beberapa nama yang lazim dikenal sebagai tokoh kritikus seni rupa Indonesia adalah S, Sudjojono, Trisno Sumarjo, Kusnadi, Dan Suwaryono, Popo Iskandar, Sudarmadji, Jim Supangkat, Agus Dermawan T , Bambang Bujono dan beberapa kritikus generasi berikutnya. Di Sumatera Barat, julukan kritikus seni rupa sejauh ini masih terdengar sepi. Beberapa nama yang lazim disebut baru Nasbahri Couto dan Ady Rosa. Memang ada sejumlah nama lain yang sudah memiliki prasyarat formal-akademis (Program Magister Seni Rupa ITB misalnya), seperti: Muharyadi, Syafwan Ahmad, Syafwandi, Jupriani, Lisa Widiarti, dan Zubaidah. Bahkan sebagian mereka pernah/cukup sering menulis di koran dan sebagian juga pernah menjadi kurator pameran seni rupa. Namun hingga hari ini nama-nama ini belum terdengar dijuluki sebagai kritikus sni rupa.
Di lain pihak memang Jim Supangkat, dalam tulisannya Kritik Seni Rupa dalam Perkembangan Seni Rupa Indonesia, berpandangan bahwa semua tulisan yang membahas tentang karya seni rupa (termasuk berita dan resensi pun) adalah kritik seni rupa, yang otomatis penulisnya dianggap sebagai kritikus. Namun pendapat ini, seperti diakuinya, lebih sebagai upaya untuk mengakhiri hiruk pikuk perdebatan seputar ada tidaknya kritik seni rupa Indonesia yang terjadi pada tahun 1996, karena tidak tercapainya indakator yang bisa disepakati bersama. Jadi bukan sebuah rumusan yang tersusun secara sistemik, seperti yang disyaratkan Popo Iskandar, G. Sidharta, Yustiono, Herry Dim, dan Soedarso Sp. Karena itu, meskipun tidak jelas siapa yang berhak menjulukinya, tulisan ini berangkat dari arus pendapat yang lebih dominan bahwa kritikus seni rupa memang seorang yang berkompeten dengan syarat-syarat tertentu, seperti diungkap Mikke Susanto dan Sudarmaji di atas.
Artinya tidak mudah memberi julukan kritikus pada seseorang. Beberapa nama yang lazim dikenal sebagai tokoh kritikus seni rupa Indonesia adalah S, Sudjojono, Trisno Sumarjo, Kusnadi, Dan Suwaryono, Popo Iskandar, Sudarmadji, Jim Supangkat, Agus Dermawan T , Bambang Bujono dan beberapa kritikus generasi berikutnya. Di Sumatera Barat, julukan kritikus seni rupa sejauh ini masih terdengar sepi. Beberapa nama yang lazim disebut baru Nasbahri Couto dan Ady Rosa. Memang ada sejumlah nama lain yang sudah memiliki prasyarat formal-akademis (Program Magister Seni Rupa ITB misalnya), seperti: Muharyadi, Syafwan Ahmad, Syafwandi, Jupriani, Lisa Widiarti, dan Zubaidah. Bahkan sebagian mereka pernah/cukup sering menulis di koran dan sebagian juga pernah menjadi kurator pameran seni rupa. Namun hingga hari ini nama-nama ini belum terdengar dijuluki sebagai kritikus sni rupa.
Di lain pihak memang Jim Supangkat, dalam tulisannya Kritik Seni Rupa dalam Perkembangan Seni Rupa Indonesia, berpandangan bahwa semua tulisan yang membahas tentang karya seni rupa (termasuk berita dan resensi pun) adalah kritik seni rupa, yang otomatis penulisnya dianggap sebagai kritikus. Namun pendapat ini, seperti diakuinya, lebih sebagai upaya untuk mengakhiri hiruk pikuk perdebatan seputar ada tidaknya kritik seni rupa Indonesia yang terjadi pada tahun 1996, karena tidak tercapainya indakator yang bisa disepakati bersama. Jadi bukan sebuah rumusan yang tersusun secara sistemik, seperti yang disyaratkan Popo Iskandar, G. Sidharta, Yustiono, Herry Dim, dan Soedarso Sp. Karena itu, meskipun tidak jelas siapa yang berhak menjulukinya, tulisan ini berangkat dari arus pendapat yang lebih dominan bahwa kritikus seni rupa memang seorang yang berkompeten dengan syarat-syarat tertentu, seperti diungkap Mikke Susanto dan Sudarmaji di atas.
TugasKritikus
Masyarakat yang menjadi sasaran dalam hal ini, tentu masyarakat umum yang relatif awam terhadap seni. Karena jika yang dimaksud adalah komunitas seni rupa, mereka pada intinya relatif sudah memiliki apresisasi. Dengan asumsi ini, tentu tulisan kritikus seni rupa lebih ditujukan pada masyarakat umum. Bukan sebaliknya.
Namun bila dicermati tulisan-tulisan kritikus pada umumnya di koran, majalah, dan jurnal seni rupa, dapat dikatakan tulisan-tulisan tersebut bukan ditujukan pada masyarakat biasa, baik teknik penyajian apalagi kedalaman materinya. Justru kebanyakan tulisan itu lebih mengarah pada komunitas seni rupa itu sendiri.
Di sisi lain secara lisan, rata-rata kritikus juga enggan bicara dengan lapis mayarakat bawah yang awan seni. Tidak jarang terlihat ketika seorang pengunjung pameran bertanya tentang sebuah karya yang terpajang, si kritikus hanya tersenyum. Bukankah mereka itulah audiens kritikus sebernanya, yang nyata-nyata sudah berada di hadapan mata?
Tidak bisa dipungkiri bahwa tulisan-tulisan para kritikus ini telah memperkaya wacana dunia seni rupa. Tulisan-tulisan mereka menjadi kajian yang bergizi bagi pertumbuhan wacana dan iklim berkesenian. Namun gempuran wacana yang beredar tidak sebanding antara untuk kalangan seni rupa dengan untuk masyarakat biasa, bahkan laju percepatan nya nyaris tidak terikuti. Alih-alih memperpendek jarak, justru kondisi ini malah memperjauh jarak apresiasi antara masyarakat dengan dunia seni rupa itu sendiri. Kenyataan menunjukkan masalah apresisai ini hingga kini masih belum usai diperbincangkan. Banyak masyarakat masih menilai dunia seni rupa itu masih berjarak, masih eklusif di tengah-tengah masyarakat. Artinya sulit ditentukan bagaimana perkembangannya, untuk tidak mengatakannya jalan di tempat.
Altenatif
Jika demikian siapa sesungguhnya yang lebih berperan membentuk apresisai seni rupa di level masyarakat? Meskipun tanpa disadari, beberapa piranti lain sebernarnya sudah memberi sumbangsih dalam hal ini, misalnya: pelajaran seni rupa di sekolah-sekolah umum, sekolah dan institut seni rupa, sanggar, gallery, dan pasar seni rupa. Meskipun keberadaannya tidak bergaung seperti kharisma seorang kritikus, namun pelan tapi pasti justru semua piranti ini telah melahirkan cikal bakal masyarakat yang melek terhadap seni rupa. Dan secara estafet, hasil bentukan inilah sesungguhnya yang disambut oleh kritikus. Jadi berbagai piranti itulah yang lebih berperan di arus bawah, sedangkan kritikus justru di level atas.
Lalu bagaimana dengan para penulis yang tulisan-tulisannya memang diarahkan pada masyarakat, dengan teknik penyajian dan kedalaman materi yang setimpal? Merujuk pada indikator di atas tentu mereka ini bukan golongan kritikus. Lain halnya jika indikator itu dilenturkan seperti yang diajukan Jim Supangkat. Artinya baik ditingkat konsep maupun praktek, kondisi ini berlangsung tanpa acuan yang jelas.
Paling tidak tulisan ini ingin mengatakan bahwa: Pertama, pernyataan bahwa kritikus seni rupa sebagai jembatan masyarakat tinggal slogan ketimbang praktek kongkrit di lapangan. Kedua, jika analisa ini ditolak, maka secara konseptual indikator seorang kritikus perlu dikaji ulang, misalnya dengan melenturkan batasannya seperti diajukan Jim Supangkat. Jika tidak, praktek yang terjadi justru malah memalukan kritikus itu sendiri. Ketiga, terlepas dari apa pun julukannya, perlu inisiatif para penulis seni rupa untuk mengisi ceruk yang amat jarang dilirik ini. Di Sumatera Barat agaknya yang cukup aktif berperan di sini adalah M. Zainal, seorang guru SMU N. 7 Padang. Keempat, sudah saatnya jargon-jargon, slogan-slogan, dan berbagai segala istilah mulia itu ditinggalkan jika dalam prakteknya tidak terbukti sama sekali■
Sumber: Padang Ekspres (Minggu, 22 April 2007)
0 komentar:
Posting Komentar