Kamis, 21 November 2013

Bagaimana caranya syukur?

1.Kurman

            Kurman adalah kependekan dari “ mensyukuri manusia”. Mengapa ?  Sebab praktis tidak ada kenikmatan Allah yang tidak dilewatkan manusia sebagai perantara nikmat.

Demikian pentingnya peranan manusia sebagai perantara nikmat, sampai-sampai Nabi bersabda: man lam yasykurinnaasa lam yasykurillah – man lam yasykurunnaasa laa yasykurullooha – barang siapa yang tidak syukur kepada manusia, sama dengan tidak syukur kepada Alloh. Nah!


Dalam sejarah, tidak banyak peristiwa yang menunjukkan Allah memberikan nikmat, misalnya makanan, secara langsung dari langit. Kaum Yahudi, ketika dibawa Musa mengembara mencari Baitul Maqdis, oleh Allah langsung diberi madu “manna” dan burung “salwa”. Atau ketika Nabi Isa meminta hidangan, oleh Alloh diberikan hidangan dari langit, dan diabadikan dalam surat Al-Maidah yang artinya hidangan. Selain kejadian itu, semua orang tanpa kecuali, harus mencari makanan dulu, lalu memakannya. Sebagian harus memasaknya terlebih dahulu.


Suami selalu bersyukurlah kepada isteri, karena sesungguhnya tidak terhitung kenikmatan Allah yang diberikan kepada suami lewat perantara isteri. Anak bersyukurlah kepada orang tua, karena tidak mungkin akan bisa mulang tarima alias membalas kebaikan atas kenikmatan Allah yang dilewatkan orang-tua. Karyawan selalu bersyukurlah kepada perusahaan tempatnya bekerja, karena gaji, tunjangan, dan lain-lain yang diberikan perusahaan, hakikatnya adalah kenikmatan dari Alloh. Maka sebagai tanda kesyukuran, jadilah karyawan teladan, produktif, tidak korupsi waktu, tidak korupsi fasilitas, apalagi korupsi dana.

Warga negara bersyukurlah kepada pemerintah yang sah yang mengupayakan kesejahteraan rakyatnya, dan memberikan kebebasan untuk menjalankan kehidupan beragama sesuai dengan keyakinannya. Sebagai tanda kesyukuran, jadilah warga negara teladan yang taat tunduk dan patuh kepada Pancasila dan UUD 1945, dan hukum-hukum yang berlaku.

Nah, dari semua kenikmatan Alloh, yang paling akbar adalah kenikmatan mendapatkan hidayah bisa menetapi agama Islam yang haq. Kemana manusia mencari hidayah?

Dalam pencarian hidayah, Ibrahim mengira bulan sebagai Tuhan, sampai kemudian bulan tenggelam. Lalu Ibrahim mengira matahari sebagai Tuhan, sampai kemudian matahari terbenam. Setelah melewati “proses”, akhirnya Ibrahim diberi hidayah menemukan Tuhan yang sesungguhnya: Alloh Subhaanahu wa Ta’aala.

Dalam pencarian hidayah, Muhammad menyepi menyendiri berhari-hari di Gua Hira, dan pulang hanya untuk membawa bekal yang disiapkan Khadijah. Sampai kemudian turun wahyu pertama melalui Jibril yang menuntunnya untuk mengikuti mambaca surat “Iqra”, akhirnya Muhammad diberi hidayahmenemukan Tuhan yang sesungguhnya, bukan Latta, bukan Uzza, tetapi Alloh Subhaanahu wa Ta’aala.

Bagaimana dengan kita? Sampai bengek bersemedi di kawah Gunung Tangkuban Perahu kedinginan lalu batuk-asma karena terhisap gas sulfur, tidak akan dapat itu yang namanya hidayah. Mengapa? Karena khotaman nabiyyiina adalah Muhammad. Setelah itu tidak ada lagi manusia yang didatangi Malaikat Jibril untuk mendapatkan wahyu.

Artinya? Hidayah hanya dapat sampai kepada kita kalau ada perantara yang menyampaikan. Siapakah perantara itu? Bukan malaikat, bukan jin. Mereka adalah manusia: mulai dari sohabat, kemudian tabi’in, kemudian tabi’it-tabi’in, dst, dst, dst., sampai kepada manusia terakhir yang menyampaikan hidayah kepada kita. Menuntun syahadat, mengajari sholat, dst., dst. Kepada mereka itulah para perantara hidayah Alloh, syukur akbar kita sampaikan. Alhamdulillaah jazaahumulloohu khoiron.

2. Kurcil
Kurcil adalah kependekan dari “mensyukuri kenikmatan kecil”. Mengapa kenikmatan kecil –bukan hanya kenikmatan besar- yang juga harus disyukuri?
Sebab, Pertama, sekecil apapun kenikmatan itu datangnya tetap dari Alloh. Kedua, ‘kecil’ adalah ungkapan kualitatif yang sulit diukur. Kecil buat di A belum tentu kecil buat si B.
Berapa sih nilai segelas air? Murah sekali, bukan? Tapi coba bawa ke tengah gurun sahara. Barangkali segelas air ada yang mau menukarnya dengan segepok dinar. Singkatnya, semua kenikmatan, besar maupun kecil harus disyukuri.
Ilustrasi berikut mungkin membantu. Ketika suami di hari gajian membawa amplop yang kandel kedeplik alias tebal, sang isteri menyambut dengan penuh suka-cita. Ketika suami datang pulang, tidak hanya cium tangan, bahkan ciun pipi kiri ciun pipi kanan.
Ketika semakin lama, karena semakin banyak potongan, amplop yang dibawa pulang semakin ipis nyempring alias tipis, boro-boro ciun pipi, cium tangan pun sudah setengah maskul, alias baru nempel tangan suami setengah, sudah langsung ditarik lagi.
Padahal sebagaimana keimanan yang yazdaadu wa yankutsu yang naik-turun, demikian pula rezeki. Bagi petani adakalanya panen melimpah, adakalanya paceklik. Bagi pegawai adakalanya surplus sehingga bisa saving alias nabung, adakalanya bokek alias tekor. Kehidupan jadi mantab alias makan tabungan.

Nabi bersabda: man lam yasykuril qoliil lam yasykuril kabiir – barang siapa yang tidak mensyukuri kenikmatan kecil, dia tidak bisa mensyukuri kenikmatan besar. Banyak sekali kenikmatan-kenikmatan kecil yang patut disyukuri. Isteri mengambilkan air minum. Suami membukakan pintu. Anak menyemirkan sepatu. Amal-solihan menyeterika baju. Dst, dst. Atas hal-hal kecil itu, biasakanlah mengucapkan kalimat syukur: Jazaakalloohu khoiron, atau Jazaakillaahu khoiron, atau Jazaakumulloohu koiron.

Percaya atau tidak, masih ada yang sudah puluhan tahun berumah-tangga dan sudah beranak pinak tapi belum tahu cara syukur ketika suami isteri selesai bersebadan. Siapa harus mensyukuri siapa? Dan bagaimana kalimat syukurnya? Masya Allah. Silahkan segera hubungi muballigh-muballighot terdekat, dan tidak usah malu untuk bertanya. Sip dah!

3. Hatwah
Inilah cara syukur yang paling sulit: Hatwah, kependekan dari “melihatlah ke bawah”. Jangan melihat dan membandingkan dengan orang yang di atas dalam hal dunia.
Sering mendengar kalimat-kalimat seperti berikut dibawah ini?
• “Tetangga sebelah sudah renovasi rumah, sedangkan kita? Atap bocor pun belum ditambal-tambal”.
• “Teman Bapak mobilnya sudah Mercy, sedangkan Bapak? Baru Kijang. Sudah belinya kredit, second-hand pula”
• “Teman Ibu resepsi anaknya di hotel berbintang 5, sedangkan aku? Selamatannya saja numpang sekalian di kantor KUA”

Itulah kalimat-kalimat yang sering terdengar, yang tanpa sadar melanggar perintah Nabi: undzuruu ilaa man huwa asfala minkum, walaa tandzuruu ilaa man huwa fauqokum – lihatlah kepada yang lebih rendah dari kamu sekalian, dan jangan melihat kepada yang lebih atas dari kamu sekalian.

Pada saat membandingkan dengan yang lebih atas, kemudian mengatakan sedangkan seperti contoh diatas, atau kata/kalimat sebangsanya, maka saat itu pula kesyukuran atas nikmat Alloh hilang, alias kufur.

Bagaimana seharusnya? Simak yang dibawah ini:
• “Alhamdulillaaah, kita sudah punya rumah walaupun atapnya bocor, sementara yang lain banyak yang masih numpang di rumah mertogu”
• “Alhamdulillaaah, Bapak sudah punya Kijang walaupun second-hand, sementara banyak yang lain masih turun-naik Mercy, tapi Mercy bus kota
• “Alhamdulillaaah, aku bisa menyempurnakan keimanan mujhid-mujhid numpang selamatan sekalian di kantor KUA, sementara yang lain mampunya hanya sholat istikhoroooh terus”.

Pada kondisi yang persis sama, sangat berbeda sekali hasil dari “melihat ke atas” - Hattas dengan “melihat ke bawah” - Hatwah, bukan? Itulah salah-satu hadits yang sangat hebat, tentang bagaimana cara memandang suatu keadaan. Yang satu membawa kufur, sedangkan yang lain membawa syukur.
Ingin keimanan terpatri dengan kuat? Jadilah ahli syukur dengan mengamalkan Kurman-Kurcil-Hatwah.
Hari gini masih menyepelekan “serendah” apapun manusia? Masih menyepelekan “sekecil” apapun nikmat? Padahal semua datang dari Allah? Hari gini masih saja melihat ke atas? Padahal Nabi melarangnya , Fa aina tadzhabuun?



0 komentar:

Posting Komentar

Kontributor

Diberdayakan oleh Blogger.