1.Kurman
Kurman adalah kependekan dari “ mensyukuri
manusia”. Mengapa ? Sebab praktis tidak
ada kenikmatan Allah yang tidak dilewatkan manusia sebagai perantara nikmat.
Demikian
pentingnya peranan manusia sebagai perantara nikmat, sampai-sampai Nabi
bersabda: man lam yasykurinnaasa lam yasykurillah – man lam yasykurunnaasa laa
yasykurullooha – barang siapa yang tidak syukur kepada manusia, sama dengan
tidak syukur kepada Alloh. Nah!
Dalam sejarah,
tidak banyak peristiwa yang menunjukkan Allah memberikan nikmat, misalnya
makanan, secara langsung dari langit. Kaum Yahudi, ketika dibawa Musa
mengembara mencari Baitul Maqdis, oleh Allah langsung diberi madu “manna” dan
burung “salwa”. Atau ketika Nabi Isa meminta hidangan, oleh Alloh diberikan
hidangan dari langit, dan diabadikan dalam surat Al-Maidah yang artinya hidangan. Selain
kejadian itu, semua orang tanpa kecuali, harus mencari makanan dulu, lalu
memakannya. Sebagian harus memasaknya terlebih dahulu.
Suami selalu
bersyukurlah kepada isteri, karena sesungguhnya tidak terhitung kenikmatan Allah
yang diberikan kepada suami lewat perantara isteri. Anak bersyukurlah kepada
orang tua, karena tidak mungkin akan bisa mulang tarima alias membalas kebaikan
atas kenikmatan Allah yang dilewatkan orang-tua. Karyawan selalu bersyukurlah
kepada perusahaan tempatnya bekerja, karena gaji, tunjangan, dan lain-lain yang
diberikan perusahaan, hakikatnya adalah kenikmatan dari Alloh. Maka sebagai
tanda kesyukuran, jadilah karyawan teladan, produktif, tidak korupsi waktu,
tidak korupsi fasilitas, apalagi korupsi dana.
Warga negara
bersyukurlah kepada pemerintah yang sah yang mengupayakan kesejahteraan
rakyatnya, dan memberikan kebebasan untuk menjalankan kehidupan beragama sesuai
dengan keyakinannya. Sebagai tanda kesyukuran, jadilah warga negara teladan
yang taat tunduk dan patuh kepada Pancasila dan UUD 1945, dan hukum-hukum yang
berlaku.
Nah, dari semua
kenikmatan Alloh, yang paling akbar adalah kenikmatan mendapatkan hidayah bisa
menetapi agama Islam yang haq. Kemana manusia mencari hidayah?
Dalam pencarian
hidayah, Ibrahim mengira bulan sebagai Tuhan, sampai kemudian bulan tenggelam.
Lalu Ibrahim mengira matahari sebagai Tuhan, sampai kemudian matahari terbenam.
Setelah melewati “proses”, akhirnya Ibrahim diberi hidayah menemukan Tuhan yang
sesungguhnya: Alloh Subhaanahu wa Ta’aala.
Dalam pencarian
hidayah, Muhammad menyepi menyendiri berhari-hari di Gua Hira, dan pulang hanya
untuk membawa bekal yang disiapkan Khadijah. Sampai kemudian turun wahyu
pertama melalui Jibril yang menuntunnya untuk mengikuti mambaca surat “Iqra”,
akhirnya Muhammad diberi hidayahmenemukan Tuhan yang sesungguhnya, bukan Latta,
bukan Uzza, tetapi Alloh Subhaanahu wa Ta’aala.
Bagaimana dengan
kita? Sampai bengek bersemedi di kawah Gunung Tangkuban Perahu kedinginan lalu
batuk-asma karena terhisap gas sulfur, tidak akan dapat itu yang namanya
hidayah. Mengapa? Karena khotaman nabiyyiina adalah Muhammad. Setelah itu tidak
ada lagi manusia yang didatangi Malaikat Jibril untuk mendapatkan wahyu.
Artinya? Hidayah
hanya dapat sampai kepada kita kalau ada perantara yang menyampaikan. Siapakah
perantara itu? Bukan malaikat, bukan jin. Mereka adalah manusia: mulai dari
sohabat, kemudian tabi’in, kemudian tabi’it-tabi’in, dst, dst, dst., sampai
kepada manusia terakhir yang menyampaikan hidayah kepada kita. Menuntun
syahadat, mengajari sholat, dst., dst. Kepada mereka itulah para perantara
hidayah Alloh, syukur akbar kita sampaikan. Alhamdulillaah jazaahumulloohu
khoiron.
2. Kurcil
Kurcil adalah
kependekan dari “mensyukuri kenikmatan kecil”. Mengapa kenikmatan kecil –bukan
hanya kenikmatan besar- yang juga harus disyukuri?
Sebab, Pertama,
sekecil apapun kenikmatan itu datangnya tetap dari Alloh. Kedua, ‘kecil’ adalah
ungkapan kualitatif yang sulit diukur. Kecil buat di A belum tentu kecil buat
si B.
Berapa sih nilai
segelas air? Murah sekali, bukan? Tapi coba bawa ke tengah gurun sahara.
Barangkali segelas air ada yang mau menukarnya dengan segepok dinar.
Singkatnya, semua kenikmatan, besar maupun kecil harus disyukuri.
Ilustrasi
berikut mungkin membantu. Ketika suami di hari gajian membawa amplop yang
kandel kedeplik alias tebal, sang isteri menyambut dengan penuh suka-cita.
Ketika suami datang pulang, tidak hanya cium tangan, bahkan ciun pipi kiri ciun
pipi kanan.
Ketika semakin
lama, karena semakin banyak potongan, amplop yang dibawa pulang semakin ipis
nyempring alias tipis, boro-boro ciun pipi, cium tangan pun sudah setengah
maskul, alias baru nempel tangan suami setengah, sudah langsung ditarik lagi.
Padahal
sebagaimana keimanan yang yazdaadu wa yankutsu yang naik-turun, demikian pula
rezeki. Bagi petani adakalanya panen melimpah, adakalanya paceklik. Bagi
pegawai adakalanya surplus sehingga bisa saving alias nabung, adakalanya bokek
alias tekor. Kehidupan jadi mantab alias makan tabungan.
Nabi bersabda:
man lam yasykuril qoliil lam yasykuril kabiir – barang siapa yang tidak
mensyukuri kenikmatan kecil, dia tidak bisa mensyukuri kenikmatan besar. Banyak
sekali kenikmatan-kenikmatan kecil yang patut disyukuri. Isteri mengambilkan
air minum. Suami membukakan pintu. Anak menyemirkan sepatu. Amal-solihan
menyeterika baju. Dst, dst. Atas hal-hal kecil itu, biasakanlah mengucapkan
kalimat syukur: Jazaakalloohu khoiron, atau Jazaakillaahu khoiron, atau
Jazaakumulloohu koiron.
Percaya atau
tidak, masih ada yang sudah puluhan tahun berumah-tangga dan sudah beranak
pinak tapi belum tahu cara syukur ketika suami isteri selesai bersebadan. Siapa
harus mensyukuri siapa? Dan bagaimana kalimat syukurnya? Masya Allah. Silahkan
segera hubungi muballigh-muballighot terdekat, dan tidak usah malu untuk
bertanya. Sip dah!
3. Hatwah
Inilah cara
syukur yang paling sulit: Hatwah, kependekan dari “melihatlah ke bawah”. Jangan
melihat dan membandingkan dengan orang yang di atas dalam hal dunia.
Sering mendengar
kalimat-kalimat seperti berikut dibawah ini?
• “Tetangga
sebelah sudah renovasi rumah, sedangkan kita? Atap bocor pun belum
ditambal-tambal”.
• “Teman Bapak
mobilnya sudah Mercy, sedangkan Bapak? Baru Kijang. Sudah belinya kredit,
second-hand pula”
• “Teman Ibu
resepsi anaknya di hotel berbintang 5, sedangkan aku? Selamatannya saja numpang
sekalian di kantor KUA”
Itulah
kalimat-kalimat yang sering terdengar, yang tanpa sadar melanggar perintah
Nabi: undzuruu ilaa man huwa asfala minkum, walaa tandzuruu ilaa man huwa
fauqokum – lihatlah kepada yang lebih rendah dari kamu sekalian, dan jangan
melihat kepada yang lebih atas dari kamu sekalian.
Pada saat
membandingkan dengan yang lebih atas, kemudian mengatakan sedangkan seperti
contoh diatas, atau kata/kalimat sebangsanya, maka saat itu pula kesyukuran
atas nikmat Alloh hilang, alias kufur.
Bagaimana
seharusnya? Simak yang dibawah ini:
•
“Alhamdulillaaah, kita sudah punya rumah walaupun atapnya bocor, sementara yang
lain banyak yang masih numpang di rumah mertogu”
•
“Alhamdulillaaah, Bapak sudah punya Kijang walaupun second-hand, sementara
banyak yang lain masih turun-naik Mercy, tapi Mercy bus kota ”
•
“Alhamdulillaaah, aku bisa menyempurnakan keimanan mujhid-mujhid numpang
selamatan sekalian di kantor KUA, sementara yang lain mampunya hanya sholat
istikhoroooh terus”.
Pada kondisi
yang persis sama, sangat berbeda sekali hasil dari “melihat ke atas” - Hattas
dengan “melihat ke bawah” - Hatwah, bukan? Itulah salah-satu hadits yang sangat
hebat, tentang bagaimana cara memandang suatu keadaan. Yang satu membawa kufur,
sedangkan yang lain membawa syukur.
Ingin keimanan
terpatri dengan kuat? Jadilah ahli syukur dengan mengamalkan
Kurman-Kurcil-Hatwah.
Hari gini masih
menyepelekan “serendah” apapun manusia? Masih menyepelekan “sekecil” apapun
nikmat? Padahal semua datang dari Allah? Hari gini masih saja melihat ke atas?
Padahal Nabi melarangnya , Fa aina tadzhabuun?
0 komentar:
Posting Komentar