Dalam perjalanan, kaligrafi arab yang lebih
sering menjadi alat visual ayat-ayat Al-Quran, tumbuh tertib mengikuti
rumus-rumus berstandar (al khat al-mansub) olhan ibnu Muqlah yang sangat ketat.
Standarisasi yang menggunakan alat ukur titik belah ketupat, alif dan lingkaran
untuk mendisain huruf-huruf itu mencerminkan “etika kaligrafi” dan kepatuhan
kepada :kaidah murni” aksara arab. Terutam bagi pemula, berpegang teguh pada kaidah
khattiyah ini sangat penting. Mengetahui seluk beluk aliran kaligrafi
dan tata cara penulisan nya tidak saja akan memperkokoh kredibilitas tulisan
pada komposis yang serasi (insijam wa mula’amah). Lebih dari semua nya,
sang karya dapat di pertanggungjawabkan sebagai hasil pencapaian yang “utuh”(al-kamil).
Sebagai hasil dari ikhtiar itu, lahirlah
aliran-aliran kaligrafi yang beragam. Dimulai dari penggembangan Al-Aqlam
Al-Sittah(Sulus,Nakhi,Muhqqaq,Rayhani,Tawqi,dan Riqa) di masa pemerintahan Bani
Umayyah yang dikembangkan di masa Bani Abbas sebagai era kebangkitan kedua
pasca khat Kufi dan kaligrafi kursif kuno sesudahnya. Dari enam gaya tulisan
yang populer dengan sebutan Shish Qalam di pesta Persia ini berkembang
pula ratusan gaya lain. Samapi abad 20, gaya-gaya itu menunjukan fluktuasi
perkembangan yang dinamis, meskipun akhirnya hanya meninggalkan sekitar tujuh
gaya tulisan modern Naskhi, Sulus, Farisi, Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah.
Gaya-gaya tulisan itu masih berkutat pada standar system Ibnu Muqlha tanpa mengalami perubahan
yang berarti.
Namun belakangan, muncul gerakan menjauhkan
diri dari kebekuan ikatan-ikatan baku di atas. Kreasi mutakhir yang
“menyimpang” dari grammar lama ini populer dengan sebutan “Kaligrafi
Kontemporer”, merunjuk pada gaya masa kini yang penuh dinamika dan kreatifitas
dalam mencipta karya yang serba aneh dan unik.
Pembatasan Masa Kontemporer
Secara terminologis, kata ‘kontemporer’(yang
dalm bahasa Inggris nya contemporary dan bahasa Arab nya معاصر atau
حديث ),
berarti ‘zaman sekarang’ atau ‘masa kini. Kata ini menunjukan ‘suatu prieode’
atau ‘suatu angkatan’ yang paling baru. Jika suatu angkatan melewati masa waktu puluhan atau ratusan tahun, dapat
dipastikan bahwa ‘angkatan kontemporer’ berada pada beberapa puluh tahun
berselang.
Jika berbagai literatur menunjuk pada angka
tahun 70-an sebagai titik awal kebangkitan seni rupa kontemporer, hal ini dapat
dimaklum dan bias menjadi keyakinan kerena sampai tahun-tahun terakhir sebelum
itu, kata ‘kontemporer’ tidak banyak di kenal kalanagan seni rupa. Jauhar
Arifin memasukkan awal sampai pertengahan abad 20 yang di tandai dengan kecamuk
Perang Dunia I dan II yang membawa perubahan dalam bidang seni rupa,baik
material, fisik, mental, maupun spiritual sebagai periode seni rupa modern,
bukan kontemporer.
Meskipun kaligrafi dapat dimasukkan ke bagian
seni rupa, namun tidak harus mengikuti corak periodisasi seni rupa secara utuh.
Kendatipun begitu, tidak dapat disangkal bahwa gaya kaligrafi Islam “kontemporer”,
“modern” atau ”masa kini” tidak lepas dari perjalanan dan bisa pengaruh seni
rupa modern yang merupakan fenomena konsep dan realitas di tengah lalu lintas
perjalan seni rupa di seluruh pelosok dunia
Contoh gaya tugra dan model animasi gaya Persia. Model kelahiran gaya kaligrafi kontemporer
Mungkin secara kebetulan, dalam proses perkembangannya,
seni rupa modern yang awalnya tumbuh di Barat, merebet ke Timur Tengah dan
bagian-bagian dunia Islam yang lain termasuk Indonesia. Abdelkebir Khatibi dan
Mohammed Sijelmassi memprediksi adanya hubungan kuat Barat-Timur tersebut, kerena
tulisan yang merupakan bagian dari seni grafis berhubungan erat dengan
seni-seni lain seperti menggambar, melukis,dan arsitektur. Di sini lukisan
bergabung dalam satu latar kesatuan unit media seperti dinding mesjid atau
kanvas lukisan. Olek kerana itu, meskipun seni lukis
tumbuh indenpenden, kenyataan nya secara konstan mengikuti dan diikuti irama
seni secara kreatif.
Gejala ini muncul terutama tahun 70-an dan
berkembang lebih ringas di tahun 80-an yang di ikuti oleh pameran-pameran yang
luas di Eropa dan Negara-negara Islam termasuk Indonesia.
Namun, tanda-tanda dan yang mengarahkan pada model kaligrafi “bebes” atau
“dibebaskan” ini sudah berlangsung sebelum tahun-tahun tersebut dan tidak
semata dipengaruhi seni rupa Barat. Pertama, hasrat “perburuan” terhadap
penemuan-penemuan baru da kalangan khattat (kaligrafer) selalu mengebu
yang sampai pada titik kulminasi di mana kreasi ditujukan untuk mencapai
karya-karya masterpiece yang dihulung.
Selanjutnya, seni kaligrafi maju lagi kepada
konsep kreatif yang lebih filosof di masa Turki Usmani dan kerajan-kerajaan
Islam Persia, seperti Ilkhaniyah, Timuriyah, dan Safawayah. Karya-karya unik
ini menonjol pada gaya Tugra dari Turki Usmani dan pola-pola animasi dari
persi. Kedua, sifat plastis yang dimiliki kaligrafi Arab,memudahkan
beradabtasi dengan pengaruh-pengaruh luar yang memuncak dengan kehadiran
pengaruh seni rupa Barat di hujung abad 20, terutama dalam titimangsa 20-an
terakhir pada tahun 70-an.
Seni rupa islam kontemporer –yang di dalamnya
termasuk kaligrafi, menurut kritikus dan korator seni rupa Merwan Yusuf memang bisa membuat masyarakat terkejut,
kerna kehadiran nya yang tiba-tiba populer di tahun 70-an. Padahal, ia tidak
muncul begitu saja, melainkan melalui pergumulan ided yang panjang. Jadi, sejak
penghujung dasawarsa 1970-an, seni kaligrafi islam mulai melanda semangat
posmodernisme. Bahkan , jauh sebelum posmodernisme berkembang menjadi jargon.
0 komentar:
Posting Komentar