Kamis, 21 November 2013

KALIGRAFI KONTEMPORER



Dalam perjalanan, kaligrafi arab yang lebih sering menjadi alat visual ayat-ayat Al-Quran, tumbuh tertib mengikuti rumus-rumus berstandar (al khat al-mansub) olhan ibnu Muqlah yang sangat ketat. Standarisasi yang menggunakan alat ukur titik belah ketupat, alif dan lingkaran untuk mendisain huruf-huruf itu mencerminkan “etika kaligrafi” dan kepatuhan kepada :kaidah murni” aksara arab. Terutam bagi pemula, berpegang teguh pada kaidah khattiyah ini sangat penting. Mengetahui seluk beluk aliran kaligrafi dan tata cara penulisan nya tidak saja akan memperkokoh kredibilitas tulisan pada komposis yang serasi (insijam wa mula’amah). Lebih dari semua nya, sang karya dapat di pertanggungjawabkan sebagai hasil pencapaian yang “utuh”(al-kamil).
Sebagai hasil dari ikhtiar itu, lahirlah aliran-aliran kaligrafi yang beragam. Dimulai dari penggembangan Al-Aqlam Al-Sittah(Sulus,Nakhi,Muhqqaq,Rayhani,Tawqi,dan Riqa) di masa pemerintahan Bani Umayyah yang dikembangkan di masa Bani Abbas sebagai era kebangkitan kedua pasca khat Kufi dan kaligrafi kursif kuno sesudahnya. Dari enam gaya tulisan yang populer dengan sebutan Shish Qalam di pesta Persia ini berkembang pula ratusan gaya lain. Samapi abad 20, gaya-gaya itu menunjukan fluktuasi perkembangan yang dinamis, meskipun akhirnya hanya meninggalkan sekitar tujuh gaya tulisan modern Naskhi, Sulus, Farisi, Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah. Gaya-gaya tulisan itu masih berkutat pada standar  system Ibnu Muqlha tanpa mengalami perubahan yang berarti.


Namun belakangan, muncul gerakan menjauhkan diri dari kebekuan ikatan-ikatan baku di atas. Kreasi mutakhir yang “menyimpang” dari grammar lama ini populer dengan sebutan “Kaligrafi Kontemporer”, merunjuk pada gaya masa kini yang penuh dinamika dan kreatifitas dalam mencipta karya yang serba aneh dan unik.

Pembatasan Masa Kontemporer

Secara terminologis, kata ‘kontemporer’(yang dalm bahasa Inggris nya contemporary dan bahasa Arab nya             معاصر  atau         حديث      ), berarti ‘zaman sekarang’ atau ‘masa kini. Kata ini menunjukan ‘suatu prieode’ atau ‘suatu angkatan’ yang paling baru. Jika suatu angkatan melewati  masa waktu puluhan atau ratusan tahun, dapat dipastikan bahwa ‘angkatan kontemporer’ berada pada beberapa puluh tahun berselang.
Jika berbagai literatur menunjuk pada angka tahun 70-an sebagai titik awal kebangkitan seni rupa kontemporer, hal ini dapat dimaklum dan bias menjadi keyakinan kerena sampai tahun-tahun terakhir sebelum itu, kata ‘kontemporer’ tidak banyak di kenal kalanagan seni rupa. Jauhar Arifin memasukkan awal sampai pertengahan abad 20 yang di tandai dengan kecamuk Perang Dunia I dan II yang membawa perubahan dalam bidang seni rupa,baik material, fisik, mental, maupun spiritual sebagai periode seni rupa modern, bukan kontemporer.
Meskipun kaligrafi dapat dimasukkan ke bagian seni rupa, namun tidak harus mengikuti corak periodisasi seni rupa secara utuh. Kendatipun begitu, tidak dapat disangkal bahwa gaya kaligrafi Islam “kontemporer”, “modern” atau ”masa kini” tidak lepas dari perjalanan dan bisa pengaruh seni rupa modern yang merupakan fenomena konsep dan realitas di tengah lalu lintas perjalan seni rupa di seluruh pelosok dunia


     Contoh gaya tugra dan model animasi gaya Persia. Model kelahiran gaya kaligrafi kontemporer
Mungkin secara kebetulan, dalam proses perkembangannya, seni rupa modern yang awalnya tumbuh di Barat, merebet ke Timur Tengah dan bagian-bagian dunia Islam yang lain termasuk Indonesia. Abdelkebir Khatibi dan Mohammed Sijelmassi memprediksi adanya hubungan kuat Barat-Timur tersebut, kerena tulisan yang merupakan bagian dari seni grafis berhubungan erat dengan seni-seni lain seperti menggambar, melukis,dan arsitektur. Di sini lukisan bergabung dalam satu latar kesatuan unit media seperti dinding mesjid atau kanvas lukisan. Olek kerana itu, meskipun seni lukis tumbuh indenpenden, kenyataan nya secara konstan mengikuti dan diikuti irama seni secara kreatif.

Gejala ini muncul terutama tahun 70-an dan berkembang lebih ringas di tahun 80-an yang di ikuti oleh pameran-pameran yang luas di Eropa dan Negara-negara Islam termasuk Indonesia.
Namun, tanda-tanda dan yang mengarahkan  pada model kaligrafi “bebes” atau “dibebaskan” ini sudah berlangsung sebelum tahun-tahun tersebut dan tidak semata dipengaruhi seni rupa Barat. Pertama, hasrat “perburuan” terhadap penemuan-penemuan baru da kalangan khattat (kaligrafer) selalu mengebu yang sampai pada titik kulminasi di mana kreasi ditujukan untuk mencapai karya-karya masterpiece yang dihulung.
 Selanjutnya, seni kaligrafi maju lagi kepada konsep kreatif yang lebih filosof di masa Turki Usmani dan kerajan-kerajaan Islam Persia, seperti Ilkhaniyah, Timuriyah, dan Safawayah. Karya-karya unik ini menonjol pada gaya Tugra dari Turki Usmani dan pola-pola animasi dari persi. Kedua, sifat plastis yang dimiliki kaligrafi Arab,memudahkan beradabtasi dengan pengaruh-pengaruh luar yang memuncak dengan kehadiran pengaruh seni rupa Barat di hujung abad 20, terutama dalam titimangsa 20-an terakhir pada tahun 70-an.

Seni rupa islam kontemporer –yang di dalamnya termasuk kaligrafi, menurut kritikus dan korator seni rupa Merwan Yusuf  memang bisa membuat masyarakat terkejut, kerna kehadiran nya yang tiba-tiba populer di tahun 70-an. Padahal, ia tidak muncul begitu saja, melainkan melalui pergumulan ided yang panjang. Jadi, sejak penghujung dasawarsa 1970-an, seni kaligrafi islam mulai melanda semangat posmodernisme. Bahkan , jauh sebelum posmodernisme berkembang menjadi jargon.

0 komentar:

Posting Komentar

Kontributor

Diberdayakan oleh Blogger.