Ekspresi Seni Individual Versus Identitas Kolektif
More
About :seni dan ekspresi
Pada masa lalu ada ungkapan pahit
"politik sebagai panglima", yang telah menggiring hampir setiap insan
di republik ini menjadi "ketakutan" karena hampir setiap waktu
mendapatkan teror akibat ketidaksepahaman dalam masalah ideologi politik,
terutama dengan arus besar yang terjadi di masyarakat.
Bahkan Anthony Shay dalam bukunya
yang berjudul Choreographic Politics
menyatakan adanya realita faktual bahwa, pada sebuah era tertentu, untuk
menyebut kata raqs (tari) pada masa pemerintahan Khomeini di Iran atau Taliban
di Afghanistan orang akan menemui banyak masalah (2002:2) Ini juga terjadi pada
pertengahan dekade 1960-an pascapemberontakan G 30 S PKI, di mana orang tak
berani menyebutkan kata genjer-genjer yang diasosiasikan dengan tarian sosial
yang dilakukan oleh para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), yaitu
sebuah organisasi massa di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memang
kemudian dilarang.Bahkan Anthony Shay dalam bukunya
Tulisan ini tidak akan berbicara tentang keterbatasan orang untuk memeluk agama, namun akan mencoba menggali berbagai kekuatan ekspresi seni yang pada gilirannya "disepakati" sebagai sebuah produk yang tidak hanya merepresentasikan identitas individu, namun lebih jauh lagi bisa berbicara banyak dalam representasi identitas kelompok, yang bukan tidak mungkin bisa pula berkembang lebih jauh dalam lingkup negara bangsa yang sudah mengalami deteritorialisasi, yaitu dalam pengertian reduksi ruang dan waktu.
Bahkan muncul berbagai festival seni yang memberikan kemanjaan selera Jakarta, namun sekaligus meneriakkan adanya dikotomi pusat dan daerah yang tak ayal lagi memberikan stempel arogansi tersendiri bagi daerah yang keterwakilannya ditetapkan berdasarkan tetapan teritori yang bersifat geopolitis.
mampu merengkuh upaya integrasi sosial di tengah-tengah masyarakat yang masih rentan dengan konflik ini. Tiba-tiba ada sebuah "mantra tubuh" Inul yang menyatukan emosi banyak orang yang semirip dengan kesatuan emosional yang melanda berbagai kalangan dalam fenomena sepak bola Eropa dewasa ini. Dari paparan di atas terlihat bahwa perubahan paradigma komunikasi, nuansa keterkekangan versus kebebasan, keterpurukan ekonomi, kekuatan media elektronika visual, dsb telah banyak berpengaruh pada perubahan ekspresi seni, minat apresiasi seni, serta motif integrasi sosial yang terus bergerak seiring dengan gerak perimbangan politik yang semakin tidak karuan, namun masih tetap memiliki sikap yang sama, terutama pandangannya pada kekuatan seni sebagai ekspresi budaya, yang memiliki potensi besar kaitannya dengan kapasitas komunikatif yang dimilikinya.
Dalam buku yang sama, hal ini juga sudah dibahas oleh Yaap Kunst jauh hari sebelumnya (1958) yang menyatakan adanya tiga kepemilikan dari nyanyian-nyanyian yang ada, yaitu komposisi milik orang-orang tertentu, komposisi yang seharusnya dipertunjukkan oleh orang-orang tertentu saja, dan komposisi-komposisi yang hanya dipertunjukkan oleh kelompok-kelompok tertentu saja (kasta atau suku tertentu) (Kunst, 1958 dalam Merriam 1964: 82).
Situasi ini mirip dengan situasi Indonesia saat menjelang dan pascakemerdekaan, yang memang membutuhkan semangat kebangsaan yang diwarnai dengan berbagai perbedaan etnisitas yang didominasi dengan dimensi ruang teritorial yang secara fisik diperjuangkan kemerdekaannya.Semangat kejuangan inilah yang membakar setiap insan anak bangsa kala itu, yang kemudian diupayakan bisa direfleksikan dengan kekuatan ekspresi seni. Di satu sisi, di kota-kota besar muncul refleksi kritis atas kekuatan seni dalam menyongsong gejolak kemerdekaan yang sudah dekat kala itu, salah satunya, dalam bentuk teater-teater modern, yang dalam porsi tertentu sangat dirasakan signifikansinya bukan hanya di kalangan pengusung teater saja, tetapi juga di kalangan para pejuang kemerdekaan (Saini KM, 2001: 1).
Di sinilah insan seni kemudian
terasa lebih menyadari kekuatan lokalitasnya untuk kemudian dijadikan
representasi kolektif dalam pengembaraan di dunia trans-lokal, dunia yang tak
lagi berbicara tentang "tempat", sebuah istilah yang tak lagi
memberikan spesifikasi ruang dan waktu karena event yang sama bisa terjadi dan
dinikmati secara simultan oleh setiap insan di planet ini.
Kedekatan ruang dalam trans-lokal di atas memungkinkan banyaknya kontak antar-individu yang kemudian melahirkan karya-karya kolaborasi, yang tak lagi semata-mata terjadi dalam jalinan permukaan teknik tari misalnya, namun lebih menelisik konsep-konsep konstruksi simbolik, yang meski kadang terasa sangat kontekstual, namun secara esensial memiliki makna universal. Persentuhan yang ada, meminjam ungkapan R Supanggah, tak lagi berupa pergesekan kulit yang bisa "syur" dan kemudian berlanjut ke "kamar tidur", namun sudah mulai mengolah konsep dan idealisme yang kadang
dilakukan selama bertahun-tahun untuk mematangkannya.
Dialog yang terjadi antar individu ini terasa menjadi sangat bermakna justru dalam prosesnya karena adu sensibilitas antar kedua pihak merupakan representasi komunikasi yang tak lagi bersifat individual, namun secara tidak sadar sangat dipengaruhi oleh nada-nada dasar yang mempengaruhi pertumbuhan kematangan virtuositas kesenimannya.
Di sinilah perbedaan nilai-nilai kejuangan kebangsaan di masa lalu yang diwarnai dengan permasalahan teritorialisasi dibedakan dengan kondisi kesenian yang diwarnai dengan, meminjam istilah dari Sindhunata dalam Dilema Globalisasi dalam BASIS, Th 52- 2003, permasalahan deteritorialisasi, trans-nasionalisme, dan trans-lokal yang mewarnai pemahaman globalisasi dewasa ini.
Kedekatan ruang dalam trans-lokal di atas memungkinkan banyaknya kontak antar-individu yang kemudian melahirkan karya-karya kolaborasi, yang tak lagi semata-mata terjadi dalam jalinan permukaan teknik tari misalnya, namun lebih menelisik konsep-konsep konstruksi simbolik, yang meski kadang terasa sangat kontekstual, namun secara esensial memiliki makna universal. Persentuhan yang ada, meminjam ungkapan R Supanggah, tak lagi berupa pergesekan kulit yang bisa "syur" dan kemudian berlanjut ke "kamar tidur", namun sudah mulai mengolah konsep dan idealisme yang kadang
dilakukan selama bertahun-tahun untuk mematangkannya.
Dialog yang terjadi antar individu ini terasa menjadi sangat bermakna justru dalam prosesnya karena adu sensibilitas antar kedua pihak merupakan representasi komunikasi yang tak lagi bersifat individual, namun secara tidak sadar sangat dipengaruhi oleh nada-nada dasar yang mempengaruhi pertumbuhan kematangan virtuositas kesenimannya.
Di sinilah perbedaan nilai-nilai kejuangan kebangsaan di masa lalu yang diwarnai dengan permasalahan teritorialisasi dibedakan dengan kondisi kesenian yang diwarnai dengan, meminjam istilah dari Sindhunata dalam Dilema Globalisasi dalam BASIS, Th 52- 2003, permasalahan deteritorialisasi, trans-nasionalisme, dan trans-lokal yang mewarnai pemahaman globalisasi dewasa ini.
Seni
dan Ekspresi
Ekspresi atau ungkapan estetika
merupakan cabang psikologi sepanjang yang dipelajari dengan metode
objektif.Fakta estetika itu fakta jiwa, suatu karya seni bagaimanapun nyata
tampak, namun bukan pada pengamatan semula \, itu hanya hadir dalam pengamatan
dan penikmatan.(SD. Humardani, 1980:11).
Daftar Pustaka
Humardani, SD., 1980, dasar-dasar
estetika (terjemahan). Surakarta: Akademi Seni Karawitan Indonesia
Dharsono,2004. Seni rupa
modern.Bandung : Rekayasa Sains
sumberlain
0 komentar:
Posting Komentar