Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang yang
paling berat siksaannya nanti di hari kiamat, yaitu orang-orang yang menggambar
gambar-gambar ini.” Dalam satu riwayat dikatakan: “Orang-orang yang menandingi ciptaan Allah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dari
hadist tersebut, Rasulullah SAW secara tidak langsung memperingatkan bahwa
menggambar (makhluk hidup) akan mendapat balasan dari Allah, yang berarti siapa
yang melakukannya akan mendapatkan dosa.
Di
sisi lain, Al-Quran memperkenalkan agama yang lurus sebagai agama yang sesuai
dengan fitrah manusia.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي
فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka, tetapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama
yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Al-Rum[30]: 30)
Jika
benar demikian, maka semua hal yang berhubungan dengan gambar makhluk hidup,
seperti buku pelajaran hewan, foto keluarga, koran, majalah, sampai televisi
diharamkan oleh Islam. Begitupun juga monumen nasional yang menampilkan patung
sosok pahlawan negara adalah haram. Jika benar demikian, alangkah sempitnya
Islam memandang seni yang hakekatnya merupakan fitrah manusia.
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa telah menjadi fitrah manusia untuk
berkesenian. Allah menganugrahkan manusia potensi untuk menikmati dan
mengekspresikan keindahan melalui karya seni. Jadi, merupakan hal yang mustahil
bila Allah melarang apa yang telah dianugrahkannya kepada manusia.
Lalu bagaimana dengan sabda
Rasulullah yang menentang menggambarkan makhluk hidup berikut?
“Barangsiapa membuat gambar
nanti di hari kiamat dia akan dipaksa untuk meniupkan roh padanya; padahal dia
selamanya tidak akan bisa meniupkan roh itu.” (Riwayat
Bukhari)
Islam
adalah agama yang menjaga kemurnian tauhid, sehingga berusaha menghindari
usaha-usaha yang memungkinkan terjadinya syirik (mempersekutukan Allah dengan
yang lain). Gambar merupakan salah satu media ke arah kesyirikan tersebut.
Pada
zaman umat-umat terdahulu, terdapat tradisi membuat gambar-gambar atau patung
orang-orang saleh dikalangan mereka yang meninggal dunia. Hal itu secara
perlahan berubah makna, sehingga gambar dan patung tersebut dikuduskan dan
kemudian dipertuhankan selain Allah, ditakuti, diharapkan, serta disembah
sebagai berhala. Oleh sebab itu, Rasulullah mengancam bahwa membuat gambar atau
patung (dengan tujuan kesyirikan) akan mendapat dosa yang sangat besar.
Dalam
surat Al-Anbiya (21): 51-58 diuraikan tentang patung-patung yang disembah oleh
ayah Nabi Ibrahim dan kaumnya. Maka dalam hal ini Al-Qur’an sangat
menentangnya.
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ
يَرْجِعُونَ
“Maka Ibrahim menjadikan
berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk)
dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk bertanya kepadanya.” (QS. Al-Anbiya [21]: 58)
Nabi
Ibrahim sengaja tidak menghancurkan patung terbesar untuk membuktikan kepada
mereka bahwa berhala (betapapun besar dan indahnya), tidaklah wajar untuk
disembah dan dimintai barakahnya.
قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا
يَنْطِقُونَ(63)فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ
فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ
“Sebenarnya patung yang besar
inilah yang melakukannya (penghancuran berhala-berhala itu). Maka tanyakanlah
kepada mereka jika mereka dapat berbicara. Maka mereka kembali kepada kesadaran
diri mereka dan berkata, Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang
menganiaya (diri sendiri). QS. Al-Anbiya [21]: 63-64)
Dari uraian Al-Qur’an tersebut, maka yang menjadi persoalan
bukanlah berhalanya, melainkan sikap dan peranan manusia terhadap patung
(berhala) tersebut.
Dalam Al-Quran
surat Ali Imran (3): 48-49 dan
Al-Maidah (5): 110 diuraikan mukjizat Nabi Isa a.s. antara lain
adalah menciptakan
patung berbentuk burung
dari tanah liat
dan setelah
ditiupnya, kreasinya itu menjadi burung
yang sebenarnya atas izin Allah.
وَرَسُولًا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنِّي قَدْ جِئْتُكُمْ بِآيَةٍ
مِنْ رَبِّكُمْ أَنِّي أَخْلُقُ لَكُمْ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ
فَأَنْفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُبْرِئُ الْأَكْمَهَ
وَالْأَبْرَصَ وَأُحْيِي الْمَوْتَى بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا
تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ
“Aku membuat untuk kamu dari tanah (sesuatu) berbentuk seperti
burung kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung seizin
Allah” (QS Ali Imran (3): 49).
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي
عَلَيْكَ وَعَلى وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ
النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ
الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ
الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِيوَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي وَإِذْ
كَفَفْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
(Ingatlah),
ketika Allah mengatakan: “Hai ‘Isa putra Maryam, ingatlah ni’mat-Ku kepadamu
dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat
berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan
(ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan
(ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa
burung dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup
kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu
menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang
berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu
mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku
menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu
mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang
kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata”. (Al Maidah[5]: 110)
Karena Nabi Isa a.s. tidak memanfaatkan patung untuk
tujuan syirik, maka Allah membenarkan patung yang dibuat oleh Nabi Isa. Nabi
Isa membuat patung dan menghidupkannya dengan izin Allah guna memperlihatkan
kebesaran Allah SWT. Jadi, penolakan Islam bukan karena gambar atau patungnya,
melainkan kemusyrikan dan penyembahannya.
Kemampuan berkreasi dalam bentuk seni merupakan nikmat
Allah SWT. yang harus disyukuri oleh manusia. Seni harus mengantarkan kepada
pengakuan dan kesadaran akan kebesaran dan keesaan Allah SWT.
Jadi, hadist-hadist yang melarang menggambar atau
memahat makhluk hidup dapat dipahami karena pada zaman Nabi-Nabi, gambar atau
patung makhluk hidup dapat membawa kemusyrikan dan kesesatan, bukan berarti
terdapat keburukan di dalam gambar dan patung tersebut. Apabila senirupa
membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup, mengabadikan nilai-nilai
luhur, serta mengembangkan dan memperhalus rasa keindahan dalam jiwa manusia,
maka sunnah Nabi mendukung dan tidak menentangnya. Karena seni itu merupakan
nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Namun sebaliknya, jika senirupa
tersebut dijadikan media untuk berbuat kemusyrikan dan dijadikan Tuhan
sesembahan, menimbulkan kejahatan, serta membawa keburukan, maka Islam secara
tegas melarang senirupa yang seperti itu.
Seni
suara (nyanyian) dalam Islam
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar (39)
ayat 23:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا
مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ
تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ
يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
‘Allah telah menurunkan
perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb-nya,
kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka untuk mengingat Allah….’ (QS. Az-Zumar: 23).
Maka kemudian Allah menghubungkannya dengan
menyebutkan keadaan orang-orang yang celaka, yaitu orang-orang yang tidak bisa mengambil
manfaat dengan mendengarkan Al-Qur’an. Sebaliknya, mereka lebih senang
menghibur diri dengan seruling, nyanyian, dan alat-alat musik. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Luqman (31) ayat 7:
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ ءَايَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ
لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
”Dan apabila dibacakan
kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dan menyombongkan diri seolah-olah dia
belum mendengarnya seakan-akan ada sumbatan di kedua telinganya….” (QS. Luqman: 7).
Nyanyian
merupakan untaian kata-kata atau bisa juga berupa puisi, sajak, syair
yang diiramakan. Nyanyian ini seringkali menjadi perdebatan dalam agama Islam
karena sering dianggap jalan menuju kesesatan. Dalam Al-Qur’an surat Luqman (31):
6, Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُهِينٌ
“Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan
dan menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olokan. Mereka itu memperoleh azab
yang menghinakan.” (Q.S. Luqman[31]:6)
Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa yang dilarang
adalah perkataan yang tidak berguna. Ayat tersebut tidak menyebut bahwa
nyanyian itu diharamkan.
Dalam peritiwa hijrah, kaum Anshar menyambut kedatangan Nabi SAW beserta rombongan dengan menggunakan nyanyian
yang diiringi rebana, sementara Nabi tidak mempermasalahkan nyanyian sambutan tersebut.
Menurut riwayat Imam
Ahmad, pernah dua orang wanita mendenangkan lagu yang isinya mengenang para
pahlawan yang gugur dalam perang Badr sambil menabuh gendang. Lalu diantara
syairnya adalah: “dan kami mempunyai Nabi
yag mengetahui apa yang ada di hari esok.” Mendengar syair tersebut Nabi
SAW menegur mereka dan bersabda:
“Adapun yang demikian jangan kalian ucapkan.
Tidak ada yang mengetahui (secara pasti) apa yang terjadi esok kecuali Allah. (diriwayatkan oleh Ahmad)
Dengan demikian, dari riwayat di atas Nabi tidak
melarang nyanyian-nyanyian, melainkan hanya menegur sebagian isinya yang
dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kesimpulan
Jika seni dikatakan sebagai keindahan atau
sesuatu yang indah, maka ia merupakan
fitrah manusia untuk menyenangi keindahan, karena Allah pun menyukai keindahan:
“innallaaha jamiil yuhibbul
jamaal”; Allah itu
indah , suka pada keindahan;
Al-Qur’an tidak mengecam seni patung atau gambar,
melainkan mengecam sikap manusia terhadap patung atau gambar tersebut;
Seperti pada masa Nabi Ibrahim a.s., patung dikecam
karena menimbulkan sikap menyekutukan Allah dengan menjadikan patung itu
sesembahan selain Allah. Dalam hal ini patung dikecam oleh Islam.
Namun pada masa Nabi Isa, patung dijadikan bukti atas
kekuatan Allah, sehingga Islam tidak mengecam pembuatan patung oleh Nabi Isa
a.s. ini;
Islam menerima seni selama seni itu bermanfaat bagi
manusia dengan tidak melangkahi nilai-nilai ke-Islam-an, dan tidak menampilkan
sosok-sosok yang bisa menjerumuskan manusia, dan sebaliknya Islam mengecam seni
jika ia membawa kesesatan pada umat manusia;
Seperti hanya senirupa, seni suara atau nyanyian tidak
diharamkan oleh Islam selama ia menyampaikan hal-hal yang benar berdasarkan
ajaran agama Islam, dan tidak berlebih-lebihan;
Nyanyian akan menjadi haram jika ia memiliki syair
yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan, ditampilkan dengan vulgar
dan berlebihan, serta menginjak-injak nilai ke-Islam-an.
MOHON UNTUK MENGCOPY ARTIKELNYA GUNA DIJADIKAN BAHAN PEMBELAJARAN DI PP KUNTUM BIL KHOIR
BalasHapusMOHON IZIN..
BalasHapus