Kamis, 17 Oktober 2013

Seni Rupa menurut pandangan Islam


Senirupa Dalam Pandangan Islam
Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat, yaitu orang-orang yang menggambar gambar-gambar ini. Dalam satu riwayat dikatakan: Orang-orang yang menandingi ciptaan Allah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dari hadist tersebut, Rasulullah SAW secara tidak langsung memperingatkan bahwa menggambar (makhluk hidup) akan mendapat balasan dari Allah, yang berarti siapa yang melakukannya akan mendapatkan dosa.
Di sisi lain, Al-Quran memperkenalkan agama yang lurus sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka, tetapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Al-Rum[30]: 30)

Jika benar demikian, maka semua hal yang berhubungan dengan gambar makhluk hidup, seperti buku pelajaran hewan, foto keluarga, koran, majalah, sampai televisi diharamkan oleh Islam. Begitupun juga monumen nasional yang menampilkan patung sosok pahlawan negara adalah haram. Jika benar demikian, alangkah sempitnya Islam memandang seni yang hakekatnya merupakan fitrah manusia.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa telah menjadi fitrah manusia untuk berkesenian. Allah menganugrahkan manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan melalui karya seni. Jadi, merupakan hal yang mustahil bila Allah melarang apa yang telah dianugrahkannya kepada manusia.
Lalu bagaimana dengan sabda Rasulullah yang menentang menggambarkan makhluk hidup berikut?
“Barangsiapa membuat gambar nanti di hari kiamat dia akan dipaksa untuk meniupkan roh padanya; padahal dia selamanya tidak akan bisa meniupkan roh itu.” (Riwayat Bukhari)
Islam adalah agama yang menjaga kemurnian tauhid, sehingga berusaha menghindari usaha-usaha yang memungkinkan terjadinya syirik (mempersekutukan Allah dengan yang lain). Gambar merupakan salah satu media ke arah kesyirikan tersebut.

Pada zaman umat-umat terdahulu, terdapat tradisi membuat gambar-gambar atau patung orang-orang saleh dikalangan mereka yang meninggal dunia. Hal itu secara perlahan berubah makna, sehingga gambar dan patung tersebut dikuduskan dan kemudian dipertuhankan selain Allah, ditakuti, diharapkan, serta disembah sebagai berhala. Oleh sebab itu, Rasulullah mengancam bahwa membuat gambar atau patung (dengan tujuan kesyirikan) akan mendapat dosa yang sangat besar.

Dalam surat Al-Anbiya (21): 51-58 diuraikan tentang patung-patung yang disembah oleh ayah Nabi Ibrahim dan kaumnya. Maka dalam hal ini Al-Qur’an sangat menentangnya.
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
“Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk bertanya kepadanya.” (QS. Al-Anbiya [21]: 58)

Nabi Ibrahim sengaja tidak menghancurkan patung terbesar untuk membuktikan kepada mereka bahwa berhala (betapapun besar dan indahnya), tidaklah wajar untuk disembah dan dimintai barakahnya.
قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ(63)فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ

“Sebenarnya patung yang besar inilah yang melakukannya (penghancuran berhala-berhala itu). Maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara. Maka mereka kembali kepada kesadaran diri mereka dan berkata, Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri). QS. Al-Anbiya [21]: 63-64)

Dari uraian Al-Qur’an tersebut, maka yang menjadi persoalan bukanlah berhalanya, melainkan sikap dan peranan manusia terhadap patung (berhala) tersebut.

Dalam  Al-Quran  surat  Ali Imran (3): 48-49 dan Al-Maidah (5): 110 diuraikan mukjizat Nabi Isa a.s. antara  lain  adalah menciptakan  patung  berbentuk  burung  dari  tanah  liat  dan setelah  ditiupnya,  kreasinya   itu menjadi   burung   yang sebenarnya atas izin Allah.
وَرَسُولًا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنِّي قَدْ جِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ أَنِّي أَخْلُقُ لَكُمْ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنْفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَأُحْيِي الْمَوْتَى بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Aku membuat untuk kamu dari tanah (sesuatu) berbentuk seperti burung kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung seizin Allah (QS Ali Imran (3): 49).


إِذْ قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلى وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِيوَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي وَإِذْ كَفَفْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ

(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai ‘Isa putra Maryam, ingatlah ni’mat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata”. (Al Maidah[5]: 110)

Karena Nabi Isa a.s. tidak memanfaatkan patung untuk tujuan syirik, maka Allah membenarkan patung yang dibuat oleh Nabi Isa. Nabi Isa membuat patung dan menghidupkannya dengan izin Allah guna memperlihatkan kebesaran Allah SWT. Jadi, penolakan Islam bukan karena gambar atau patungnya, melainkan kemusyrikan dan penyembahannya.

Kemampuan berkreasi dalam bentuk seni merupakan nikmat Allah SWT. yang harus disyukuri oleh manusia. Seni harus mengantarkan kepada pengakuan dan kesadaran akan kebesaran dan keesaan Allah SWT.

Jadi, hadist-hadist yang melarang menggambar atau memahat makhluk hidup dapat dipahami karena pada zaman Nabi-Nabi, gambar atau patung makhluk hidup dapat membawa kemusyrikan dan kesesatan, bukan berarti terdapat keburukan di dalam gambar dan patung tersebut. Apabila senirupa membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup, mengabadikan nilai-nilai luhur, serta mengembangkan dan memperhalus rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung dan tidak menentangnya. Karena seni itu merupakan nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Namun sebaliknya, jika senirupa tersebut dijadikan media untuk berbuat kemusyrikan dan dijadikan Tuhan sesembahan, menimbulkan kejahatan, serta membawa keburukan, maka Islam secara tegas melarang senirupa yang seperti itu.

Seni suara (nyanyian) dalam Islam
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar (39) ayat 23:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb-nya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka untuk mengingat Allah….’ (QS. Az-Zumar: 23).

Maka kemudian Allah menghubungkannya dengan menyebutkan keadaan orang-orang yang celaka, yaitu orang-orang yang tidak bisa mengambil manfaat dengan mendengarkan Al-Qur’an. Sebaliknya, mereka lebih senang menghibur diri dengan seruling, nyanyian, dan alat-alat musik. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Luqman (31) ayat 7:
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ ءَايَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya seakan-akan ada sumbatan di kedua telinganya….” (QS. Luqman: 7).

Nyanyian  merupakan untaian kata-kata atau bisa juga berupa puisi, sajak, syair yang diiramakan. Nyanyian ini seringkali menjadi perdebatan dalam agama Islam karena sering dianggap jalan menuju kesesatan. Dalam Al-Qur’an surat Luqman (31): 6, Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olokan. Mereka itu memperoleh azab yang menghinakan.” (Q.S. Luqman[31]:6)

Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa yang dilarang adalah perkataan yang tidak berguna. Ayat tersebut tidak menyebut bahwa nyanyian itu diharamkan.  

Dalam peritiwa hijrah, kaum Anshar menyambut kedatangan Nabi SAW beserta rombongan dengan menggunakan nyanyian yang diiringi rebana, sementara Nabi tidak mempermasalahkan nyanyian sambutan tersebut.

Menurut riwayat Imam Ahmad, pernah dua orang wanita mendenangkan lagu yang isinya mengenang para pahlawan yang gugur dalam perang Badr sambil menabuh gendang. Lalu diantara syairnya adalah: “dan kami mempunyai Nabi yag mengetahui apa yang ada di hari esok.” Mendengar syair tersebut Nabi SAW menegur mereka dan bersabda:
“Adapun yang demikian jangan kalian ucapkan. Tidak ada yang mengetahui (secara pasti) apa yang terjadi esok kecuali Allah. (diriwayatkan oleh Ahmad)

Dengan demikian, dari riwayat di atas Nabi tidak melarang nyanyian-nyanyian, melainkan hanya menegur sebagian isinya yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Kesimpulan
Jika seni dikatakan sebagai keindahan atau sesuatu  yang indah, maka ia merupakan fitrah manusia untuk menyenangi keindahan, karena Allah pun menyukai keindahan: innallaaha jamiil yuhibbul jamaal; Allah itu indah , suka pada keindahan;
Al-Qur’an tidak mengecam seni patung atau gambar, melainkan mengecam sikap manusia terhadap patung atau gambar tersebut;
Seperti pada masa Nabi Ibrahim a.s., patung dikecam karena menimbulkan sikap menyekutukan Allah dengan menjadikan patung itu sesembahan selain Allah. Dalam hal ini patung dikecam oleh Islam. 
Namun pada masa Nabi Isa, patung dijadikan bukti atas kekuatan Allah, sehingga Islam tidak mengecam pembuatan patung oleh Nabi Isa a.s. ini;
Islam menerima seni selama seni itu bermanfaat bagi manusia dengan tidak melangkahi nilai-nilai ke-Islam-an, dan tidak menampilkan sosok-sosok yang bisa menjerumuskan manusia, dan sebaliknya Islam mengecam seni jika ia membawa kesesatan pada umat manusia;
Seperti hanya senirupa, seni suara atau nyanyian tidak diharamkan oleh Islam selama ia menyampaikan hal-hal yang benar berdasarkan ajaran agama Islam, dan tidak berlebih-lebihan;
Nyanyian akan menjadi haram jika ia memiliki syair yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan, ditampilkan dengan vulgar dan berlebihan, serta menginjak-injak nilai ke-Islam-an.

2 komentar:

Kontributor

Diberdayakan oleh Blogger.